Bagikan
Pendampingan di UPZISNU Ranting Wonosobo, Lazisnu Mukomuko Arahkan Zakat Produktif
By Admin LazisNU | 07/05/2021 - 12:58 WIBMenindaklanjuti surat Pengurus Pusat Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Uala, NU CARE LAZISNU Nomor : 837/LAZISNU-PBNU/V/2021 tanggal 06 Mei 2021 perihal pendampingan kepada JPZIS dan jejaring NU baik masjid dan Mushola NU dalam pelaporan, penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian Zakat Infak dan Shadaqah, Lazisnu Mukomuko lakukan pendampingan terhadap UPZ Ranting Wonosobo, Rabu (5/5).
Ketua Lazisnu Mukomuko, Wahid Nurshodik mengatakan bahwa NU CARE - LAZISNU sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) yang disahkan melalui Keputusan Menteri Agama RI No. 255 Tahun 2016, merupakan LAZ yang telah memiliki legalitas untuk melaksanakan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Berdasarkan UU No. 23/2011 Pasal 29, Peraturan Pemerintah No. 14/2014 Pasal 71, dan Pedoman NU CARE-LAZISNU No. 005/2016 Pasal 9 menjelaskan bahwa pengelola zakat wajib membuat dan menyampaikan laporan pengelolaan zakat setiap enam bulan dan akhir tahun.
“Guna memenuhi ketentuan tersebut di atas yang bersifat wajib bagi seluruh LAZ, maka kami melakukan pendampingan,” Jelas Wahid
Dalam pendampingan tersebut, selaku pengurus Lazisnu Mukomuko mengarahkan untuk pendistribusian zakat secara produktif. Zakat produktif tersebut menurut Wahid merupakan pendistribusian yang sifatnya tidak langsung habis pakai atau konsumtif.
“terkait pendistribusian zakat di Ranting Wonosobo dikarenakan dana masih terbatas, maka dibagi dua, ada yang konsumtif dan ada juga yang produktif, dimana untuk zakat produktif rencana dialokasikan untuk pengadaan armada ambulance sebagai pendukung pilar program lazisnu dalam bidang kesehatan,” paparnya
Terkait referensi atau dasar hukum pendistribusian zakat produkti, Wahid mengambil referensi dari web Nu Care.Id https://islam.nu.or.id/post/read/9067/hukum-menyslurksn-zakat-untuk-lembaga-sosial-atau-lembaga-pendidikan.
Dalam web tersebut dipaparkan bahwa dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, pada 30 Syawal 1401 bertepatan dengan 30 Agustus 1981 ditanyakan hukum menyalurkan harta zakat kepada masjid, madrasah, panti-panti asuhan atau yayasan sosial-keagamaan dan lain-lain.
Pada musyawarah tersebut terdapat dua pendapat yang muncul. Pertama, menukil pendapat dasar dari imam madzab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) sebagaimana dalam dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin hlm 106 dan Al-Mizanul Kubra bab qismus shadaqah bahwa tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat untuk lembaga sosial, bahkan untuk membangun masjid sekalipun atau atau mengkafani (mengurus) orang mati. Dinyatakan bahwa masjid itu sama sekali tidak berhak untuk rnenerima zakat, karena zakat itu penyalurannya tidak boleh kecuali untuk orang muslim yang merdeka.
Kemudian pendapat Kedua, para musyawirin menyatakan boleh menyalurkan zakat di sektor sosial yang ”positif” seperti membangun masjid, madrasah, mengurus orang mati dan lain sebagainya. Pendapat ini dikuatkan juga oleh fatwa Syekh Ali al-Maliki dalam kitabnya Qurratul 'Ain hlm 73, yang menyatakan: ”Praktik-praktik zaman sekarang banyak yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Ishaq yang memperbolehkan penyaluran zakat pada sektor di ja1an Allah, seperti pembangunan rnasjid, madrasah dan lain-lainnya.
” Para peserta musyawarah (musyawirin) juga menukil pendapat Imam Al-Qaffal yang menyatakan bahwa perbolehkan penyaluran zakat ke semua sektor sosial karena firman Allah SWT tentang ”fi sabilillah” atau ”di jalan Allah” dalam surat Al-Baqarah ayat 60 pengertiannya umum dan mencakup semuanya termasuk kegiatan-kegitan sosial. Bahkan Syeikh Ali al-Maliki menyatakan, penyaluran zakat untuk kepentingan sosial bisa jadi wajib hukumnya: ”Amalan yang ada sekarang ini seperti yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawiyah perihal pengambilan saham sabilillah yang diperoleh dari zakat wajib dari kalangan orang-orang kaya muslim untuk membantu pendirian sekolah-sekolah dan lembaga-Iembaga keagamaan, maka amalan tersebut menjadi suatu keharusan.
Lebih lanjut Wahid menukil Tafsir Al-Munir Syeikh al-’Alamah Muhammad Nawawi Al-Jawi Juz I: 244 Ditegaskan bahwa ”sabilillah” sebagai salah satu dari delapan golongan penerima zakat (asnaf) sebagaimana yang tertera dalam firman Allah SWT di atas mencakup semua sektor sosial, seperti mengkafani mayat, membangun benteng, merehab masjid, dan pembekalan prajurit yang akan berperang serta lainnya yang memuat kepentingan umum umat Islam.
”Hal ini sebagaimana yang dirinci oleh sebagian ahli fikih dan yang dipedomani oleh Imam Qaffal dari kalangan As-Syafi’iyyah serta dinukil oleh Ar-Razi dalam tafsirnya yang menjadi pilihan bagi kami dalam berfatwa,” pungkas Wahid sambil membaca keputusan Munas. (Mustopa)